Pembantaian Hewan Memiskinkan dan Akar Kejahatan

Foto: Aster Bili Bora/Idemanews/EE

Tambolaka, IDEMA News_“Pembantaian hewan (teba) kerbau, kuda, sapi dan tunnu (tikam babi) dalam budaya Sumba adalah sebuah tradisi turun-temurun. Yang mempunyai nilai kesakralan dan kearifan lokal. Namun seiring waktu, terjadi pergeseran nilai dan esensi kesakralan dan kearifan local dalam ritual pemotongan hewan dalam prosesi adat entah pesta woleka atau kedukaan. Karena itu saya setuju diatur dengan sebuah PERDA meski kenapa baru sekarang muncul inisiasi DPRD tersebut. Karena selama ini, pembantaian hewan berlebihan memiskinkan orang Sumba. Orang berkutat-katit dengan hutang adat. Dan tanpa kita sadari, hutang adat menjadi sumber atau akar kejahatan,” demikian Aster Bili Bora, penasehat IDEMA yang jumpai belum lama ini di kediamannya di Tambolaka.

Kepedulian Aster Bili Bora atas fenomena pembataian hewan dalam pesta maupun kedukaan sudah sejak lama disuarakan. Bahkan dengan suara lantang hal tersebut didengungkan dalam keluarga dan masyarakat. Kegelisahan itu bahkan dituangkan dalam sebuah cerpen berjudul: Bilang saja Saya Sudah Mati. Sebuah kisah yang mengharukan, getir dan konyol dalam gaya santai. Kisah cerpen tersebut dengan tema pesta dan hutang. Yang pada akhirnya dalam pergulatan yang getir, tokoh utama cerita, meminta agar dia dianggap saja sudah mati karena dia bekerja hanya untuk menutupi hutang adat yang tak habis-habis. Ia bekerja banting tulang hanya untuk mengirim uang di kampong untuk urusan adat yang dibungkus dengan pikiran mulia demi harga diri, martabat keluarga.

Namun hal tersebut juga berdampak bagi dirinya. Keluarga dan masyarakat tidak senang atas pemikirannya yang sangat radikal. Seperti pembataian hewan (teba) dibatasi jumlahnya, jumlah babi yang ditikam dikurangi, lama waktu orang meninggal dikubur diatur tiga hari atau dua malam. Atau dalam pesta adat Woleka atau lainnya apalagi kedukaan, tidak perlu dibagikan daging mentah (kabuah). Cukup makan di tempat atau biasa kita istilahkan makan nasional. Dan cap atau stigma “orang tidak tahu adat” kadang gampang dilekatkan kepada orang Sumba seperti Pak Aster yang getol memberikan pencerahan, mempraktekan pola baru dalam ritual adat-istiadat Sumba. Lalu orang yang sering Kedde (membawa hewan kerbau) dalam sebuah pesta apalagi kalau seorang public figure atau pejabat  seperti bupati, wakil bupati, DPRD, kadis, camat dan kepala desa, oleh masyarakat dianggap sebagai tokoh public atau pejabat yang memahami budaya dan patut dipilih kembali jika maju lagi. Dimana-mana namanya disanjung seperti dewa.

“Jadi dengan adanya RANPERDA inisiati DPRD Kabupaten Sumba Barat Daya, kita bersyukur menjadi momentum untuk merubah mindset orang Sumba terutama masyarakat SBD bahwa pesta adat dengan pemotongan hewan berlebihan berpotensi sangat besar memiskin orang, membuat keluarga menderita karena memikul hutang besar. Bahkan disadari atau tidak, beban hutang adat berpotensi menjadi akar kejahatan yang  terjadi secara kolektif maupun secara individu. Yang sederhana yang kita lihat atau rasakan, orang tidak ada beban atau rasa malu misalnya ketika ada pesta atau kedukaan, membawa babi penyakit (virus ASF) karena harga murah.  Lalu lahir komunitas pasar babi miring, istilah “babi miring” dan kita makan daging “babi miring” dengan bumbu penyedap rasa dan bumbu pewarna yang kental,” tambah pria yang setelah pensiun dari ASN (pengawas) masih tetap mengabdikan diri bagi dunia pendidikan dengan mendirikan  yayasan/persekolahan  SMP dan SMA PGRI yang berada di Kadul dan Wewewa Selatan.

Baginya, hal tersebut adalah kejahatan yang sadar atau tidak secara moral maupun aturan ada pembiaran. Dibiarkan terjadi berpuluh-puluh tahun sampai jumlah hewan yang ada di tengah masyarakat sudah sangat berkurang. Akibat jumlah yang berkurang drastic dan jumlah permintaan yang melonjak, kita harus membeli hewan dari daerah lain. Harga melonjak tajam apalagi dengan kondisi alami merebaknya virus ASF (penyakit babi). Terbatasnya lahan orang memelihara ternak kerbau, sapi atau kuda. Akibatnya dimana-mana ada pencurian ternak bahkan pencurian yang melibatkan oknum-oknum. Sering kita dengar hewan masuk ke tempat acara pesta pada malam hari, bahkan dari belakang dan langsung disembeli. Dan disinyalir, hewan yang tidak jelas asal-asulnya. Ini termasuk kejahatan karena semua orang yang makan, makan daging ‘hewan gelap’. “Atau ketika harus memilih, membayar uang sekolah dan kuliah anak atau bawa hewan ke pesta entah diundang atau apalagi membawa untuk ganti, maka orang tua akan memilih pergi ronggeng dan menari di pelataran pesta sambil membiarkan anaknya yang sekolah atau kuliah menangis karena cuti bahkan DO. Membiarkan anaknya di tanah rantau bekerja serabutan untuk bertahan kuliah bahkan tidak makan. Lalu orang tua bisa memberi alasan mulia tapi absurd: ini demi martabat. Harga diri dan nama baik keluarga. Karena kalau tidak muncul, nama baik akan rusak tujuh keturunan. Dan aneh bin ajaib, kata-kata ini menggetarkan hati dan segenap jiwa untuk menerimanya sebagai sebuah kebenaran,” tambah pria yang juga menggeluti dunia usaha ternak dan berhasil.

Rata-rata keluarga yang mempunyai hutang hewan adat berlebihan, pasti gali lubang tutup lubang. Berhutang sana-sini untuk tutupi hutang dengan berhutang baru. Seperti lingkaran setan dan pada akhirnya mewariskan hutang yang bertumpuk pada anak dan cucu. Akhirnya kejahatan yang tak terlihat tetapi terasa seperti adanya kasus perjodohan, mengawinkan anak perempuan di bawah ini, juga jika ditelisik tidak terlepas dari fenomena social budaya; karena desakan hutang. Ini kan mengorbankan dan membunuh masa depan anak. Belum banyak kasus, anak perempuan oleh orang tua atau suami bagi yang sudah berkeluarga, dipaksa kerja di luar negeri. Hasil dari kerja hanya untuk membayar hutang adat, atau bahkan bergaya kedde dengan bersandar pada penghasilan anak yang di luar negeri. Maksudnya untuk memperbaiki taraf hidup, sama sekali tak terasa dan terabaikan demi mengejar gengsi dan nama. “Ini banyak terjadi. Bahkan suami kawin lagi atau hanya berfoya-foya dengan mabok dan judi. Tidak bangun rumah atau usaha justru untuk hal-hal yang tidak produktif”.

Karena itu, RANPERDA tersebut sebaiknya digodok cepat, disosialisasi secara efisien kepada tokoh masyarakat dan adat, tokoh agama, penggiat LSM agar sesegera mungkin menjadi PERDA. Selanjutnya disosialisasikan pelaksanaannya, pengawasan dan sanksi. Dan yang paling pokok bahwa tokoh pemerintah; bupati, wakil bupati, Ketua DPRD, segenap pejabat harus merubah mindsetnya terlebih dahulu. Memberi contoh atas kepatuhannya. Tetapi sepanjang tokoh kunci ini termasuk tokoh masyarakat tidak mentaati hal tersebut, maka akan sia-sia. Dalam hal ini harus diupayakan sosialisasi secara massif dan setelahnya pemberlakuannya harus ketat dan tegas, tanpa kompromi. “Saya berpikir dengan perubahan midset kea rah lebih maju, masyarakat SBD akan sejahtera. Pendidikan lebih baik. Orang tidak tergantung pada bantuan PKH, BLT dsb. Masyarakat mandiri dan mencapai taraf hidup yang baik. Karena pada dasarnya masyarakat SBD rajin dan pekerja keras dan cerdas. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi keluarga akan membaik, kesehatan juga menjadi aspek penting yang bisa dijangkau sehingga tidak perlu ada stunting, atau orang sakit tidak bisa berobat. Anak-anak kita bisa sekolah tinggi. Kalau harga kerbau sedang misanya 20 juta sebenarnya, bisa menyekolahkan satu anak kuliah S1 sampai selesai. Sehingga kalau tiga orang anak, bisa kuliah semua,” jelas Aster Bili Bora yang masih dipercaya sebagai wakil Ketua PGRI 2021-2025 dan sebelumnya sebagai ketua PGRI SBD 2008-2021.

Karena Kedde Orang Bisa Korupsi

Sedangkan salah satu tokoh muda inspiratif dari Wewewa Barat, Gabriel Pira dalam bincang santai memandang bahwa budaya dan pemenuhan aspek hidup lain harus berimbang. Pendidikan anak-anak, kesehatan keluarga harus menjadi skala prioritas. Contoh, setiap saat misalnya seorang kepala desa menghadiri pesta atau kedukaan dengan bawa hewan (kedde), secara rasional tidak masuk akal. Karena kita tahu bersama kebutuhan dan gaji seorang kepala desa. Akhirnya bisa saja terjadi korupsi atau menyahgunakan jabatan untuk bisa menutupi kebutuhan adat yang overdosis. “Dibutuhkan kearifan semua pihak. Kita harus bersama-sama mendorong perubahan cara pandang terhadap esensi adat. Kita harus belajar dari daerah lain yang sudah maju seperti Flores. Bagaimana mereka mengelola dan menyederhanakan aktifitas adat dan merencanakan secara matang. Ada gotong royong, kumpul tangan ketika anak sekolah atau kuliah. Hal ini patut ditiru sehingga kita kumpul tangan tak sebatas ada acara masuk minta;kawin mawin, acara pesta atau kedukaan. Tokoh pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh gereja, kalangan terdidik harus menjadi contoh,” tegasnya belum lama ini.

Sedangkan Thomas Bulu,S.P, Ketua Fraksi GERINDRA SBD yang berada di Komisi 2 diselah-selah kesibukannya menyampaikan bahwa RANPERDA yang mengatur tentang pelaksanaan pesta adat sedang digodok di DPRD sambil disosialisasikan ke tokoh-tokoh masyarakat. “RANPERDA ini merupakan Ranperda insiatif DPRD SBD. Masih sedang digodok secara marathon dengan sosialiasi, menampung masukan dan aspirasi masyarakat dan tokoh-tokoh dari semua kalangan. Hal ini penting sehingga ketika RANPERDA telah ditetapkan menjadi PERDA mempunyai legitimasi kuat dan dapat dilaksanakan sesuai dengan latar belakang munculnya inisiasi tersebut. Secara moral kita semua termasuk DPRD dan pemerintah kabupaten Sumba Barat Daya mempunyai tanggung jawab bagaimana mengembalikan esensi dasar budaya-adat istiadat sesuai dengan perkembangan saat ini”.

Tentang adat istiadat perlu penataan. Harus ada standar aturan umum yang diatur secara tertulis selain aturan dasar yang merupakan kesepakatan dalam masyarakat. Karena jika tidak dikendalikan dengan baik, boleh jadi rutual adat, pesta adat, acara kedukaan justru kehilangan esensi dasar sebagai penanda kita sebagai orang Sumba yang menjunjung tinggi adat-istiadat. “Mindset kita harus dirubah. Kita berorienetasi ke masa depan. Bagaimana meningkatkan pendidikan, tingkat pendidikan, bagaimana masyarakat sehat, cukup makan dan bisa menjadikan potensi SDM dan alam menjadi lebih produktif. Stunting bisa diatasi. Kita tidak hanya tertatih-tatih dengan hutang sehingga susah perbaiki rumah atau membangun tempat tinggal yang layak. “Saya yakin dengan kerangka aturan tertulis tentang pesta adat, hidup kita lebih baik, lebih sehat dan lebih bermartabat. Karena kita merencanakan dengan baik dan tentu dilaksanakan secara masuk akal. Selanjutnya akan meminimalisir kerawanan, anak tidak kuliah atau orang jual tanah karena pesta adat atau terjerat hutang adat,”  pungkasnya.*EE

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *