Kodi Bangedo-SBD, IDEMA News_Sejumlah kalangan terdidik yang tergabung dalam Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Kementrian Keuangan (Kemenkeu RI) mendapat tugas sebagai duta LPDP di Desa Maliti Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya. Selama enam (6) bulan, September 2025-Pebruari 2026 duta LPDP melakukan riset, inventarisasi masalah, dan khusus terkait pariwisata di Kampung Rategaro melakukan pelatihan pariwisata, hospitality dan berbagai pendampingan.
“Begitu kami menginjakan kaki di Desa Maliti, memasuki Kampung Rategaro, kami langsung jatuh cinta. Sebuah rasa yang tak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Kampung Rategaro dengan kekhasannya, memberi kita pengalaman yang berbeda. Keindahan bukan saja dari sisi fisik yang terlihat tetapi keindahan yang tersembunyi. Tempat yang seperti mempunyai energy khusus yang kuat. Kekaguman dan kedamaian terasa sangat kuat. Peduan pesona alam, budaya, rumah-rumah adat yang menjulang tinggi, deburan ombak di ujung pantai yang kadang ketika pasir naik sehingga memisahkan dengan muara dengan bayangan pohon bakau yang diam. Dan dari ujung kampong Rategaro, samar kita bisa melihat beberapa menara rumah di Kampung Wainyapu yang menjulang tinggi. Dua kampong besar yang hanya berjarak kurang lebih 200 meter hanya dipisahkan oleh muara dan garis pantai yang membujur dari utara ke selatan. Kampung Rategaro menjadi bagian administrative Kecamatan Kodi Bangedo, sedangkan kampong Wainyapu termasuk administrasi Kecamatan Kodi Balaghar,” demikian Tia Panca yang timnya didampingi pendamping Desa Maliti, Teguh Yohanes .
Suasana hening dan kesederhanaan masyarakat Desa Maliti termasuk yang berada di Kampung Rategaro, menjadi cermin dan pantulan bathin bagi kita. Bahwa di tempat ini (Kampung Rategaro-Red) kita bisa mengalami dan menyelami karya maha agung Tuhan sendiri. Bahwa bahagia dan senang itu sederhana saja. Datang ke Kampung Rategaro, tidak perlu bertanya, tidak perlu hiruk pikuk gemerlap lapu diskotik dan music yang memekahkan telinga, tetapi cukup duduk diam di atas bale-bale rumah dengan penghuni yang ramah, atau duduk selonjoran di halaman rumput hijau dengan suguhan pemandangan alam di bawahnya berupa muara, pantai, ombak, dan sebuah dataran yang lebih rendah dari Kampung Rategaro yang indah menghijau dan dari sela dedaunan samar bisa terlihat jelas beberapa batu kubur megalitik yang berdiri kokoh. Mungkin sesekali deburan ombak sampai untuk menyentuh batu kubur tersebut.
Lanjut Andi Ainun dan Alselmus Barung juga dari duta LPDP, Kampung Rategaro dan kampong lain di Desa Maliti mempunyai daya tarik eksotik luar dalam. Sebuah kampong yang mempunyai pesona yang unik, dibandingkan dengan kampong lain. Mungkin karena persis berada diapit muara dan pantai. “Ketika kita akan memasuki perkampungan, mata kita sudah dimanjakan oleh batu kubur megalitik yang berjejer rapih. Selanjutnya kita memasuki perkampungan yang dikelilingi pagar batu (kangali-Red). Rumah-rumah adat dengan menara yang menjulang seolah menyentuh langit. Suasana tenang dan seolah kita hanya mendengar suara alam padahal banyak anak-anak yang bermain bercanda bersama teman dan saudara mereka,” tutur Andi Ainun wanita berkerudung.
Terkait Kampung Rategaro yang pernah diviralkan dengan aksi tak terpuji berupa “pengancaman dan pemerasan”oknum anak muda, menurut Tia dan Andi masih meragukan kebenaran lokasi kejadian. Karena mereka mencoba membandingkan lokasi kejadian tersebut dan yang dilihat sekarang ketika berada di Kampung Rategaro, berbeda. Dalam dunia pariwisata, kenyamanan dan keamanan pengunjung menjadi salah satu factor utama yang harus terus dijaga dan dirawat. “Sejauh kami sudah dua bulan di Desa Maliti, suasana seram atau menakutkan seperti diframing media terhadap Kampung Rategaro, sama sekali tak terasa. Kami baik-baik saja dan kami bebas kemana saja. Soal penampilan atau tradisi berbeda. Misalnya di sini orang (laki-laki-Red) kemana-mana membawa parang di pinggang adalah bagian tradisi. Baik untuk urusan kerja di kebun atau urusan adat seperti keduakaan atau pesta, kami diajak dan kami baru tahu bahwa ketika orang memakai pakaian adat, parang merupakan salah satu bagian kelengkapan pakian adat. Jadi wajar saja. Tetapi jika itu benar adanya, sejauh pendampingan dan dilakukan pemangku kepentingan, petinggi masyarakat adat, telah dilakukan pendekatan dan pembinaan,” tambah Andi Ainun yakin.

Sumber Foto: Laman Hypeabis/Idemanews_Admin
Sedangkan Anselmus Barung menyoroti pentingnya kebersihan dan penerangan jalan menuju Kampung Rategaro. Sejauh ini kampong bersih dan hal itu penting untuk selalu ada penyegaran agar sampah dibuang pada tempatnya. Air bersih tersedia hanya perlu peningkatan kapasitas kamar mandi dan wc. Biasanya wisatawan selesai mandi pasti membilas badan dengan air tawar. Jika pelayan dan fasilitas seperti penerangan juga baik, saya yakin Kampung Rategaro menjadi salah satu tujuan wisata budaya dan alam. Banyak potensi yang bisa dikembangkan dan dikelola seperti pertunjukan sendratari.
Rategaro adalah komibinasi cantik antara alam pantai, hutan bakau, muara, sungai, arsitektur rumah, adat-istiadat budaya dan struktur social yang menghidupinya dan membuka cakrawala kita tentang perjalanan peradaban yang terus eksis dan terjaga. Sebenarnya ada banyak kampong lain tetapi posisi Kampung Rategaro yang menjorok arah laut, menjadikannya sebagai destinasi utama. Lanjut Ansel, sebagai kelanjutan output program LPDP di Desa Maliti Bondoate, kami akan menyampaikan rekomendasi terkait pengembangan Desa Maliti dan kampong adat yang mempunyai potensi besar bagi kemajuan pariwisata. Termasuk penyediaan sumur bor, penerangan jalan dan infrastruktur penunjang lainnya.
Sejalan dengan pengembangan wisata di Sumba termasuk di Sumba Barat Daya, Paskalis Adipapa Mada, salah satu tokoh muda Kampung Rategaro, dalam diskusi dengan peneliti duta LPDP menyampaikan bahwa pengelola kampong Rategaro sangat terbuka terhadap berbagai masukan dan bantuan berbagai pihak. “Kami sadari butuh proses dan waktu untuk terus berbenah. Tetapi hal keamanan dan kenyamanan pengunjung, kami jamin. Kami belajar dari berbagai peristiwa untuk melakukan pendekatan partisipatif terhadap seluruh keluarga. Juga ke depan kami akan melakukan terobosan untuk bersama-sama mengangkat eksistensi semua kampong yang berada di Desa Maliti bahkan luar desa. Perlu penataan dan kerja sama sehingga kita sama-sama mempunyai tanggung jawab agar wisatawan nyaman,” demikian PLT Camat Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya.
Sedangkan tokoh muda dari Kabisu Pawungo, Hermanus Horo yang kini dipercaya sebagai PLT Kadis Nakertrans SBD bahwa dibutuhkan kerja keras dan kerja sama untuk membangun dan mempertahankan eksistensi pariwisata di SBD. “Desa Maliti mempunyai potensi wisata yang besar. Jika kita menuju Kampung Rategaro, sebenarnya ada banyak kampong yang indah dan mempunyai cerita yang menarik bagi wisatawan. Misalnya kampong yang masuk Kasibu Pawungo antara lain Lauwatu, Mehangmata, Ranggabaki, Gallu, Watulade, Pakare, Homba Wawi, Ratenggaro, Hongakoki. Sebelah kanan di tengah padang ada Kampung Ngawu Watu. Kabisu Mahembajuga mempunyai tujuh buah Kampung yakni Weedimu, Paronabaroro, Kabota, Balengger, Mahulongge, Halakadangar. Kabisu Bagoho terdiri dari kampong Bondo Kodi,kampong Rambi yang terkenal dengan para juara pajura. Ada Kampung Waihari, Kampung Lewat. Kampung Biabi,” jelas Hermanus Horo.

Sumber Foto: masterplandesa/Idemanews_Admin
Dulu hubungan antara kampong sangat erat dan harmonis bahkan sampai era tahun awal 90-an. Namun seiring perkembangan teknologi, keadaan ekonomi dan aktifitas lain, ada beberapa kegiatan ritual yang tidak bisa dijalankan. Acara pesta selalu ada bagian antara kabisu. Misalnya Mahemba selalu juga menghadirkan Kabisu Pawungo. Untuk pengembangan perlu duduk bersama sehingga keberadaan banyak kampong menjadi daya tarik khas bagi wisatawan.*Yos




