Opini  

MAKAN BERGIZI GRATIS (MBG): DARI JANJI GIZI JADI ANCAMAN NYAWA ANAK; Sebuah Kajian Realita Tanpa Politisasi

Ilustrasi: Pojokbandung.com/Idemanews_Admin

Oleh: Saverinus Kaka, S.Pd.,M.Pd.

Belum genap satu tahun sejak diluncurkan pada awal Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) justru mencatat catatan kelam: lebih dari 290.000 anak di 16 provinsi mengalami keracunan makanan hingga September 2025. Kasus terjadi berulang, bukan insiden terisolasi. Di Kabupaten Garut (Jawa Barat), 45.000 siswa keracunan dalam sehari akibat nasi bungkus berbau tengik. Di Nusa Tenggara Timur, 39.000 anak keracunan dan muntaber usai mengonsumsi lauk kedaluwarsa. Di Deli Serdang, Sumatera Utara, puluhan anak harus dirawat intensif karena kontaminasi bakteri E. coli dari makanan MBG.

Akar persoalannya bukan kecelakaan, melainkan kegagalan sistemik. Pertama, skema pengadaan melalui catering massal yang dipilih tanpa verifikasi keamanan pangan memadai. Kedua, Badan Gizi Nasional (BGN) gagal menjalankan fungsi pengawasan, tidak ada audit berkala, tidak ada sertifikasi penyedia, dan SOP higienisasi diabaikan. Ketiga, desentralisasi pelaksanaan tanpa pendampingan teknis membuat sekolah dan dinas daerah kewalahan.

Kelalaian ini tidak bisa ditoleransi. BGN dan pelaksana lapangan telah mengkhianati amanah publik. Alih-alih menyelamatkan gizi anak, mereka justru menciptakan ajang penebar racun berkedok kebijakan sosial. Ini bukan sekadar salah manajemen, apalagi sinyaleman politisasi, ini kelalaian yang berpotensi pidana.

Sebagai masyarakat peduli dan pemerhati pendidikan, kami menuntut moratorium segera atas pelaksanaan MBG dalam skema catering massal. Jika pemerintah bersikeras melanjutkan, maka investigasi independen, transparan, dan berkeadilan harus segera dilakukan oleh lembaga eksternal seperti KPK, Ombudsman, dan Ikatan Dokter Indonesia. Pelaku kelalaian harus dihukum, bukan dilindungi.

Solusi paling praktis, aman, dan ekonomis adalah mengalihkan anggaran langsung kepada orang tua melalui transfer non-tunai. Orang tua, yang paling memahami kebutuhan dan kondisi anaknya, akan menyiapkan makanan bergizi sesuai budaya dan ketersediaan lokal. Sekolah cukup melakukan pengecekan harian: apakah makanan mengandung karbohidrat, protein, sayur, dan buah. Pendekatan ini menghilangkan biaya operasional catering (yang bisa menggerus 25–35% anggaran), memangkas birokrasi BGN dari pusat hingga daerah, dan, yang terpenting, menghilangkan risiko keracunan massal.

Jika pemerintah tetap mempertahankan sistem saat ini tanpa reformasi radikal, maka MBG bukan lagi program kemanusiaan, melainkan bencana berulang yang dibiayai negara. Anak-anak Indonesia berhak atas makanan bergizi, bukan makanan beracun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *