Tiada Izin, Jalan Belakang pun Jadi

Foto: Sapi Sumbawa/Kabar 24-Bisnis.com/Admin

Sumba Barat Daya, IDEMA News_Sejauh pantuan IDEMA sudah setahun lebih, Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Barat Daya tidak memberikan ijin masuknya hewan ternak babi dari luar wilayah SBD. Hal tersebut dikuatkan oleh Kadis Peternakan SBD, Agustinus Pandak. “Hal ini dilakukan dalam upaya meredam merebaknya virus ASF yang menyerang babi. Pemerintah menghindari kerugian yang lebih besar yang dialami peternak dan petani. Termasuk ijin masuknya hewan ternak besar (kerbau, kuda, sapi) dari propinsi lain tidak dikeluarkan. Salah satu upaya preventif ini, ternyata mempunyai dampak positif. Hingga bulan ini (September) jumlah kematian babi karena virus ASF berkurang drastis,” jelasnya belum lama ini (Senin, 15/9/2025).

Namun kebijakan tidak memberikan izin yang diberlakukan pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya kepada sejumlah pelaku usaha jual beli ternak lintas kabupaten dalam propinsi bahkan lintas propinsi, tak menyurutkan upaya mereka untuk tetap memasok hewan ternak (babi dan kerbau). Ibarat tiada izin, jalan belakang pun jadi. Tiada rotan, akar pun jadi, demikian pepatah lawas. Puluhan penjual babi asal Kabupaten Sumba Barat Daya memanfaatkan tidak kurang akal. Mengatasi masalah perizinan, mereka mengurus perijinan di kabupaten lain seperti Kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Timur.

“Kita melihat kebutuhan masyarakat tinggi. Permintaannya tinggi dengan harga yang sudah pasti menguntungkan. Kita mencoba peruntungan dengan mengurus ijin di kabupaten lain dengan memanfaatkan keluarga atau kenalan. Berbekal surat ijin tersebut kami berangkat ke Kupang dan memulai operasi pencarian babi. Harga bervariasi dan kita selektif sekali. Kita tidak mungkin beli babi miring karena resiko tinggi. Kami melakukan transaksi di sana antara satu sampai dua minggu. Kita teliti saat membeli. Mengamati postur tubuh, dari segala arah lalu member makan. Bagaimana cara makan, rakus tidaknya, kuat makan atau tidak. Lalu baru harganya cocok atau tidak. Setelah transaksi dibawa ke tempat penampungan yang disewa kurang lebih dua juta lima ratus. Setelah sesuai jumlah kuota, segera kami bawa ke tempat karantina. Oleh dokter hewan diperiksa satu persatu. Selanjutnya, dari hasil itu baru memperoleh surat jalan,” jelas Bapa Indrit yang dijumpai di pasar Radamata belum lama ini.

Sepanjang kami ambil babi dari Kupang sampai SBD, lanjut Bapa Indrit tidak pernah ada babi mati di jalan atau sampai di sini. Lihat saja babi ini (3 ekor) yang masih tersisa dari 40 ekor, sehat semua padahal sudah tiga minggu di pasar. “ Kami yakin penyebab virus bukan karena babi dari luar. Kenyataan babi yang kami pasok, sehat semua. Tidak ada yang mati karena virus. Hampir semua teman dari SBD kami saling kenal yang ambil babi di Kupang. Semua aman-aman saja,” tambahnya.

Rata-rata setiap orang yang ambil babi di Kupang mengantongi ijin (kouta) jumlah babi antara 40 sampai 50 ekor.  Hampir setiap dua minggu sekali sejak bulan Juni 2025. Jumlah pebisnis babi kurang lebih 15 orang. Jika satu orang memasok 40 ekor saja  dalam dua minggu, berarti jumlah yang masuk ada 600 ekor dan dalam sebulan mencapai kurang lebih 1.200 ekor. Jika dalam rentang waktu enam bulan (Juni sampai bulan Oktober) 2025 jumlah babi yang masuk di Sumba Barat Daya sekitar 7.200-9.000 ekor, jumlah potensi kerugian Dinas Peternakan SBD sekitar Rp 360.000.000-450.000.000. Hal ini diandaikan jika satu surat izin senilai Rp.50.000. Jumlah tersebut diserap oleh dinas peternakan kabupaten lain seperti Sumba Tengah dan Sumba Barat. Sedangan harga karantina di Kupang, sesuai pengakuan Bapa Indrit dipatok Rp. 300.000 besar atau kecil.

Dari pengalaman pebisnis babi yang terpaksa mengurus ijin di kabupaten lain, kadang merasa tidak nyaman karena harus menggunakan orang yang berpenduduk di kabupaten tersebut. “Kami mengeluarkan biaya ekstra untuk membayar jasa. Akibatnya kami untung tipis dan harga jual agak naik karena ongkos tambah. Sedangkan perjalanan sampai ke SBD tidak ada hambatan. Semua berjalan mulus sampai kami turun di pasar. Bahkan kandang tidak jauh-jauh dari lokasi pasar. Jadi kami berharap, ijin bisa dikeluarkan oleh Dinas Peternakan SBD. Karena selama ini, tidak ada virus yang disebabkan oleh babi yang pasok dari Kupang. Selama ini babi miring yang dijual di pasar berasal dari peternak local. Babi itu dibeli oleh penjual spekulan dengan harga miring. Kami mengharapkan betul pada tahun depan, ijin dikeluarkan dari kabupaten SBD,” ungkap penjual babi yang enggan disebut namanya.

Kerbau Bima pun Berlayar Sampai SBD

Foto: Kerbau/Kompas.id/Admin

Seperti halnya babi, puluhan ekor kerbau dari Bima masuk di Kabupaten Sumba Barat Daya. Masuk secara senyap tetapi dijual secara bebas di wilayah Sumba Barat Daya. Beberapa pelaku bisnis jual beli hewan ternak besar kerbau yang dijumpai di Kodi Utara mengakui bahwa kerbau itu masuk tanpa proses administrasi yang benar. Dari Bima tidak melalui karantina karena tempat muat berada di dermaga kecil yang jauh dari tempat karantina. Di Bima tidak seperti di Sumba, hewan kerbau mempunyai KTP. Hanya surat biasa yang menyatakan kepemilikan dan tidak ada cap khusus di tubuh atau punggung kerbau. Entahlah, alasannya karena di sana tidak ada pencuri ternak.

“Kami akui salah prosesnya. Ada ketakutan jangan sampai didatangi aparat keamanan atau pihak berwenang. Ada perasaaan was-was kalau sampai ditangkap atau dikenai denda uang dalam jumlah tertentu. Bahkan ada teman yang hampir jatuh dari tebing karena lari tidak tahu arah ketika mendengar sirene ambulance yang disangka mobil patroli polisi. Belum lagi kalau ada kerbau mati karena beberapa hal. Antara lain, masalah pakan/rumput yang berbeda atau karena berhimpitan secara berlebihan saat dimuat dalam perahu dari Bima sampai Sumba Barat Daya,” Ungkap Rehi Pati kepada IDEMA

Sedangkan Stefanus  Jaha Mone yang biasa kendaraannya dipakai untuk memuat kerbau yang diambil dari Bima mengharapkan agar Dinas Peternakan SBD memberikan ijin resmi sehingga mereka tidak takut melakukan bisnis. Dengan bisnis yang legal, mereka aman dan menyerap banyak tenaga kerja juga. “Ada yang ditugaskan mencari kerbau di Bima, di sini pada saat kerbau diturunkan dari perahu, orang yang menarik dan membawa ke pantai dibayar Rp 100.000 per ekor. Rata-rata dalam dua minggu satu atau dua perahu masuk di pantai dengan muatan kerbau. Rata-rata satu perahu memuat 20 sampai 40 ekor. Ini sudah hampir satu tahun lebih beroperasi. Kalau orang sudah kerja, pasti mengurangi kejahatan karena orang focus kerja,” demikian Stefen.

Selain itu, pemerintah harus sigap melihat peluang bisnis antar kabupaten antar propinsi. Misalnya propinsi NTT (SBD) dan NTB (Bima dan Dompu). Harus ada penjajakan kerja sama sehingga ada peluang hewan illegal.  Dengan kejelasan aturan, pebisnis bisa menghitung untung rugi dengan jelas. Selain harga beli berapa harga sewa perahu, mengurus ijin, karantina dsb. Kalau sekarang sangat spekulasi dan pelaku bisnis bisa dikenakan pasal penyelundupan hewan illegal atau tidak criminal lain yang melanggar aturan. Dinas harus proaktif dan DPRD Kabupaten SBD dan Propinsi NTT semestinya melakukan upaya nyata merespon keadaan dan permintaan warga (pebisnis). Tidak bisa berdiam diri saja dan pada akhirnya melahirkan orang yang mau kerja lurus menjadi pencuri dan membuka peluang adanya pungli.

Kadis Peternakan SBD yang dihubungi menjelaskan bahwa sampai saat ini, dinas tidak mengeluarkan ijin masuknya ternak antar propinsi seperti hewan besar kerbau. Kita himbau agar masyarakat mematui aturan dan ikut menjaga wilayah masing-masing sehingga hewan dari luar tidak masuk. Harus diakui bahwa yang mempunyai kebutuhan hewan paling tinggi di Sumba bahkan NTT adalah Kabupaten Sumba Barat Daya. Begitupun harga, tetap SBD memegang rekor karena ternak kerbau, babi, sapi, kuda mempunyai harga jual yang tinggi.**EE

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *