Oleh: Saverinus Kaka, S.Pd.,M.Pd.
Di tanah Sumba, khususnya Sumba Barat Daya, adat bukan sekadar ritual, ia adalah identitas, kehormatan, dan harga diri. Namun, di balik megahnya pesta perkawinan, pemakaman, atau syukuran desa, tersimpan luka yang tak terlihat: kemiskinan struktural yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ratusan juta hingga miliaran rupiah dihabiskan hanya untuk “menjaga muka”. Kerbau, kuda, babi, kain tenun mahal, dan beras karungan menjadi “uang sosial” yang wajib dikeluarkan, bukan karena mampu, tapi karena takut dicap “tidak punya adat”.
Masyarakat tahu ini salah. Mereka sadar ini membebani. Tapi mereka terjebak dalam sistem yang menuntut pengorbanan materi sebagai syarat pengakuan sosial. Gengsi lebih penting dari kenyang. Pesta lebih penting dari pendidikan anak. Dan utang lebih penting dari masa depan.
Anak Cucu Menanggung Dosa Pesta Orang Tua
Inilah ironi paling pedih: anak cucu dipaksa membayar utang pesta yang bahkan belum mereka nikmati. Seorang ayah menggelar pesta pemakaman untuk orang tuanya dengan menyembelih 30 ekor kerbau, lalu mati meninggalkan utang ratusan juta. Anaknya, yang masih SMA, terpaksa putus sekolah, bekerja serabutan, bahkan menikah muda demi “mengangkat derajat keluarga” dan melunasi utang adat. Generasi berikutnya lahir bukan dalam kebebasan, tapi dalam jerat warisan budaya yang salah kaprah.
Utang bukan lagi soal uang, tapi soal harga diri. Dan harga diri itu diukur bukan dari kejujuran atau kerja keras, tapi dari berapa banyak kerbau yang disembelih.
Dampak Negatif: Ketika Adat Jadi Mesin Kemiskinan
- Kemiskinan turun-temurun: Keluarga tidak pernah lepas dari utang karena setiap siklus hidup (lahir, nikah, mati) memicu pesta mahal.
- Pendidikan terabaikan: Anak putus sekolah demi membantu orang tua bayar utang atau menikah muda untuk “mengurangi beban”. Sekolah anak menjadi urutan terbelakang, apalagi memikirkan soal dukungan fasilitas dan kualitas studi anak.
- Ekonomi lokal mandek: Uang yang seharusnya untuk modal usaha habis untuk pesta. Petani jual sawah, peternak jual ternak produktif.
- Rentenir merajalela: Di desa tanpa akses bank, rentenir jadi “pahlawan” sekaligus “penjagal” bunga 20% per bulan bukan hal aneh.
- Stres sosial & konflik keluarga: Tekanan adat memicu depresi, KDRT, Keluarga berantakan, bahkan bunuh diri.
Dampak Positif Bila Dikelola dengan Bijak
Jangan salah, adat Sumba punya nilai luhur yang tak ternilai:
- Solidaritas sosial: Pesta adat bisa jadi momentum gotong royong dan perekat komunitas, asal tidak dipaksakan mahal.
- Pelestarian budaya: Tenun ikat, gendang, tarian, dan bahasa daerah bisa tetap hidup tanpa harus menghancurkan ekonomi keluarga.
- Pariwisata budaya: Jika dikemas dengan cerdas, adat Sumba bisa jadi daya tarik wisatawan, bukan dengan pesta boros, tapi dengan keaslian dan makna.
Pemerintah Masih Maju-Mundur: Takut Melawan Adat, Lupa Melindungi Rakyat
Pemerintah daerah tahu masalah ini. Tapi kebijakan masih setengah hati. Ada Perda tentang pembatasan hewan sembelihan? Ada. Tapi tak ada sanksi tegas. Ada imbauan penyederhanaan? Ada. Tapi tak ada kampanye massif. Takut dianggap “melawan leluhur”. Takut kehilangan dukungan kepala suku. Padahal, tugas utama pemerintah adalah melindungi rakyat dari kemiskinan, termasuk kemiskinan yang dibungkus tradisi.
Solusi Konstruktif: Penyederhanaan, Bukan Penghancuran
Adat jangan dihapus, tapi disesuaikan dengan zaman. Berikut langkah nyata:
Perda Penyederhanaan Adat yang Mengikat
Batasi jumlah hewan sembelihan, durasi pesta, dan nilai mahar. Beri sanksi sosial (misal: tidak diundang acara resmi) dan sanksi administratif (misalnya: Denda yang sepadan) bagi pelanggar.
Gerakan “Adat Bijak, Hidup Sejahtera”
Libatkan tokoh agama, kepala suku, dan influencer lokal untuk kampanye perubahan mindset: “Derajatmu bukan diukur dari kerbau, tapi dari keberkahan keluargamu,”
Lembaga Keuangan Adat Tanpa Bunga
Bentuk koperasi atau “Bank Adat” yang memberi pinjaman lunak untuk keperluan adat, dengan syarat pesta harus sederhana dan transparan.
Festival Budaya sebagai Pengganti Pesta Boros
Alih-alih pesta mahal, gelar festival tahunan yang merayakan seni, musik, dan tenun Sumba, tanpa sembelihan massal, tapi tetap menjaga kebanggaan budaya.
Reward bagi Keluarga Sederhana
Beri penghargaan publik (piagam, bantuan usaha, liputan media) bagi keluarga yang melangsungkan pesta adat sederhana namun bermakna, ubah standar gengsi!
Penutup: Budaya Harus Membebaskan, Bukan Memperbudak
Budaya yang baik adalah budaya yang membuat rakyatnya makin sejahtera, bukan makin terlilit utang. Adat Sumba indah, sakral, dan penuh kearifan, tapi ketika ia menjadi alat pemiskinan sistemik, maka ia harus dikoreksi. Bukan dihancurkan, tapi diperbarui. Bukan dilawan, tapi dibimbing.
Biarkan anak-anak Sumba bermimpi, bukan membayar utang. Biarkan adat menjadi rahmat, bukan kutukan. Saatnya Sumba Barat Daya memimpin revolusi budaya: dari pesta yang memiskinkan, menuju adat yang membebaskan dan memberdayakan.