Waikabubak,IDEMA News_Memasuki pelataran Kanakata, sejauh mata memandang adalah deretan rumah menara khas Sumba di kayangan dengan penanda atap (kadu uma) yang sama. Pada hari libur anak-anak bermain bersama di pelataran dengan ceria. Sedangkan ibu mereka duduk selonjoran di bawah alat tenun tradisional. Tangan cekatan memasukan benang dan mengatur agar pola dan motif tenun sesuai yang diinginkan dengan alat kayu pipih, lidi dan bamboo bulat kecil. Hampir semua rumah, aktifitas menenun adalah keseharian perempuan Kanakata.
“Ini sudah menjadi kebiasaan kami. Keterampilan yang diperoleh secara turun-temunurun,” ungkap salah satu mama yang sedang menenun. Lanjutnya, menenun adalah salah satu sumber penghasilan utama setiap keluarga. Sejak kecil kami sudah dibiasakan mengenal alat tenun dan membantu orang tua untuk memasukan benang (memanen). Anak-anak usia kelas 3 SD sudah bisa membantu. Anak-anak gadis pada usia SMP apalagi SMA, mereka sudah bisa menenun sendiri dengan pengawasan orang tua.

Waktu menyelesaikan tenun (kain/sarung) tidak terlalu lama. Jika total menenun, cukup beberapa hari sudah selesai. Juga tergantung ukuran dan tingkat kesulitan motif kain tersebut. Tetapi biasanya kami menyelesaikan satu kain rata-rata satu minggu saja. Setelah selesai, langsung dijual ke pasar atau diambil orang yang sudah memesan.
Pesona Kanakata yang berada di Desa Kambu Kuni Kecamatan Kota Waikabubak Kabupaten Sumba Barat, semakin terasa oleh suasana yang masih sangat alami. Pohon-pohon menjulang tinggi dan pada bulan Juli-Agustus setiap tahun ketika pohon berbunga dan berbuah, berbagai jenis burung, akan memenuhi langit Kanakata dan kampong riuh oleh kicau burung Nuri dan sejenisnya pemakan biji-bijian. Pada era tahun awal 90-an, di sisi Selatan kampong, masih merupakan hutan lebat tempat kelelawar bergelantungan. Sayang pemandangan itu tidak bisa dinikmati lagi karena kondisi alam yang berubah. Pohon besar dan bamboo diambil untuk berbagai keperluan.
Keunikan lain yang terasa adalah bahwa Kampung Kanakata seperti sebuah kapal pesiar besar yang menjulang di atas lautan. Kampung Kanakata berada di ketinggian batu raksasa dengan ukuran kurang lebih 40mx100 meter lebih. Dan pada saat ini berdiri kokoh 28 buah rumah adat dan masih ada beberapa buah yang belum dibangun karena berbagai factor. Pate Ama Kiruk dan Ama W., ketua adat Kampung Kanakata yang dijumpai menuturkan bahwa ritual adat wulla poddu (bulan suci) pada bulan Oktober yang dilaksanakan selama ini selalu harus diawali dari Kampung Kanakata. Ditandai dengan ditabuhnya tambur dan gong. Selanjutnya karena pertimbangan praktis, lokasi lebih rata dan memadai sehingga aktifitas ritual lainnya dilaksanakan di Kampung Bodomatoro yang masih satu gugus bukit di Loli Atas. Lalu selanjutnya di Kampung Wanobou, Kampung Gollu, Kampung Lokoroda, Kampung Praikaliti, Kampung Praijing.
Kampung ini hanya berjarak satu kilometer dari pusat kota. Jalan akses menuju kampung sudah ditata bagus dan diaspal. Sehingga para pengendara dapat masuk ke kampung dengan mudah. Hanya saja belum tersedia lahan parkir kendaraan roda dua atau empat yang memadai di bawah kampung. Sehingga memaksa pengunjung membawa kendaraannya masuk dalam kampung yang relative sempit. Juga belum tersedia lokasi khusus bagi pengunjung untuk membeli kerajinan dari Kampung Kanakata seperti hasil tenun yang terkenal itu. Khusus untuk tamu wanita dilarang melewati pelataran di sisi utara dalam kampung, ada bagian pelataran yang dihalangi dengan bambu.

Jika kita mengunjungi situs Praijing atau lainnya, rasanya belum lengkap jika tidak menginjakan kaki di Kampung Kanakata. Ada suasana yang berbeda. Keramahan dan sambutan hangat warga kampung menjadi sesuatu yang unik. Penerangan dalam kampung sudah memadai, sehingga jika berkunjung pada malam hari, suasana kampung kerang. Air bersih sudah disediakan pemerintah. Dan Kampung Kanakata merupakan salah satu kampung situs dari 30 kampung situs yang tersebar di Kabupaten Sumba Barat.*Yos