Opini  

GURU: PAHLAWAN ATAU PESAKITAN? KETIKA NEGARA LEBIH MENGHARGAI BETON DARIPADA OTAK!

Saverinus Kaka

Oleh: Saverinus Kaka, S.Pd., M.Pd.

Sebuah pernyataan kontroversial dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, beberapa waktu lalu telah menyulut api amarah di kalangan pendidik. Pernyataan yang belakangan diduga kuat adalah hasil rekayasa AI,menyebut guru sebagai “Beban Negara” adalah tamparan keras bagi para guru yang telah mengabdikan diri untuk mencerdaskan anak bangsa. Di tengah hiruk pikuk pembangunan infrastruktur yang megah, kita bertanya: apakah negara ini lebih menghargai beton daripada otak?

Guru bukan sekadar pengajar, mereka adalah arsitek masa depan. Di kelas-kelas reyot dan di bawah langit-langit yang bocor, secara khusus sekolah-sekolah di daerah terpencil yang minus perhatian dari pemerintah pusat maupun daerah, mereka menanamkan benih pengetahuan, menyiramnya dengan kesabaran, dan memupuknya dengan cinta. Mereka adalah lilin yang rela membakar diri demi menerangi jalan anak bangsa. Mereka telah melahirkan para pejabat, orang-orang hebat di negeri ini, yang nota bene sering mengejek mereka tanpa perasaan.

Ironi mencuat ketika kita melihat alokasi anggaran yang timpang. Dana sertifikasi guru kerap tersendat, sementara proyek-proyek mercusuar terus digelontorkan. Guru honorer berjuang dengan upah minim, sementara pejabat negara menikmati fasilitas mewah. Bukankah ini sebuah pengkhianatan terhadap cita-cita luhur pendidikan?

Contoh konkret. Di sebuah desa terpencil di Nusa Tenggara Timur, seorang guru bernama Ibu Maria harus berjalan kaki puluhan kilometer setiap hari melewati hutan dan sungai untuk mencapai sekolah. Ia mengajar dengan penuh semangat meski fasilitas sangat minim. Gajinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun ia tak pernah menyerah. Ia bahkan membuka rumahnya sebagai tempat belajar tambahan bagi anak-anak yang tidak mampu. Kisah Ibu Maria adalah cerminan dari ribuan guru lainnya di pelosok negeri yang berjuang demi pendidikan anak bangsa.

Lihatlah guru-guru di pelosok negeri, dengan semangat membara, mereka merangkul keterbatasan. Mereka menciptakan inovasi pembelajaran dari barang bekas, menjadi orang tua asuh bagi murid-murid yatim piatu, dan mengadvokasi hak-hak anak-anak miskin. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.

Pemerintah dan DPR seharusnya bercermin, bukan malah menuding. Alihkan anggaran dari proyek-proyek yang sarat kepentingan ke peningkatan kualitas guru dan fasilitas pendidikan. Hentikan pemborosan dan korupsi yang merugikan negara. Ingatlah, investasi terbaik adalah investasi pada sumber daya manusia.Guru bukan beban, mereka adalah investasi masa depan. Jika kita gagal menghargai dan mendukung mereka, maka kita sedang menggali kuburan peradaban kita sendiri. Mari kita berikan penghormatan yang layak kepada para guru, karena di tangan merekalah masa depan bangsa ini digantungkan. Hidup Para Guru Indonesia. Tetap semangat walau tanpa penghargaan yang memadai dari petinggi negerimu. Merdekaaaa.*

Exit mobile version